Selasa, 20 Januari 2009

MENYONTEK . bgm. dan mengapa?

Fabian Junge (junge@snafu. de)
Ditulis Oleh Achsin

"Sstt, soal bab II, nomor 1 apa jawabannya?" Weeer ..., kertas dilempar. Seeer..., kertas ujian digeser, tulisan di meja dan bangku tampak kecil-kecil, njelimet.

Itu hanya sebagian contoh dari bentuk penyontekan. Tulisan tidak hanya dibuat di meja. Namun juga di dinding, penggaris mika, kertas yang dilipat di bawah kalkulator, tisu, telapak tangan.

Kalau diamati, orang yang menyontek memang kadang memperoleh nilai yang tinggi daripada orang yang diconteki. Jika kita memberikan jawaban, berarti kita mengajari dia untuk membodohi dirinya sendiri. Aspek lain yang muncul, siswa yang belajar sungguh-sungguh kecewa. Sebab, hasilnya malah lebih rendah dari orang yang menyontek.

Dengan menyontek, bukan memberikan motivasi untuk belajar. Tetapi, membiarkan teman bermalas-malasan tanpa mau berusaha sendiri.

Saya kira alanglah baiknya, jika tata tertib (tatib) yang ada di sekolah juga mengatur kedisiplinan siswa termasuk menyontek. Dalam tatib tersebut, diatur bagaimana tatib melakukan ujian.

Begitu pula dengan sanksi yang akan diberikan jika ada murid yang kedapatan membawa krepekan atau sontekan. Selama ini, sanksi yang diberikan sangat ringan. Seperti mengerjakan tugas atau hukuman fisik lainnya.

Bahkan kalau ketahuan membawa contekan, paling-paling contekannya dibuang. Atau, ditegur lain kali jangan menyontek lagi. Itu saja.

Apa dampaknya? Siswa tak akan takut lagi menyontek. Paling-paling ditegur atau dibuang kertas contekannya. Akhirnya, perilaku sejenis menyontek itu terbawa saat siswa dewasa. Saat dewasa, ia punya jabatan di pemerintah, di politik, dan di BUMN. Akhirnya, yang bersangkutan suka berhobong, menipu atau mengakali anggaran untuk cari tambahan penghasilan.

Menyontek dan korupsi hampir sama nilainya. Sama-sama ingin hasil yang baik atau besar dalam waktu cepat, tanpa mau berusaha dengan jalan atau langkah sesuai prosedur. Korupsi, menipu dan berbohong dianggap biasa seperti waktu sekolah dulu.

Tak ada hukuman dan tak ada norma yang membatasinya. Jelas, dalam menyontek akan membuat siswa dan mahasiswa menjadi ‘kebal’. "Nggak apa-apa, besok nyontek lagi. Paling cuma ketahuan dan diambil kepekannya," kata seorang mahasiswa dengan bangga. Akhirnya, menyontek dianggap perbuatan biasa. Bukan hal yang memalukan dan rendah.

Ke depan sanksi bagi pelajar dan mahasiswa yang menyontek harus memberi efek jera. Artinya, jika dihukum waktu menjadi pelajar atau mahasiswa, maka ia takut untuk mengulanginya.

Mengapa menyontek?
Dalam kacamata psikologi, perilaku seseorang dipengaruhi oleh cara orang tersebut melihat faktor yang mempengaruhi kehidupannya atau yang disebut sebagai locus of control (pusat kendali).

Orang yang dominan dikendalikan pusat kendali internal mempercayai, bahwa kemajuan dalam hidup ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri.

Mereka senang bekerja keras, mempunyai cita-cita tinggi, ulet dan menganggap kemajuan dirinya disebabkan ia bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya.

Sebaliknya, orang yang lebih dominan dikendalikan faktor dari luar dirinya (eksternal) mempercayai bahwa keberhasilannya ditentukan oleh hal di luar dirinya seperti nasib baik, adanya koneksi dan bukan karena kerja keras diri sendiri.

Orang yang mempunyai pusat kendali eksternal cenderung beranggapan bahwa kerja keras, menepati waktu, bekerja penuh disiplin bukan faktor utama penyebab keberhasilan.

Untuk menghindarinya, siswa disarankan meyakini bahwa menyontek merupakan pintu gerbang dari perbuatan berbohong yang lebih besar, seperti korupsi. Selanjutnya, belajar mengenali diri sendiri dan setiap potensi yang dimiliki.

Menurut saya, untuk menghindari tindakan menyontek itu cukup mudah. Antara lain, percaya diri sendiri, hidup harus dimulai motivasi diri sendiri, belajar jangan dianggap beban, keadaan sekolah pun membuat iklim belajar yang sehat.

Tak kalah penting, perlu mengetahui penyebab siswa mempunyai kecenderungan menyontek. Dalam hal ini, sebagian besar malas belajar, belajar mendadak, materi tidak selesai dipelajari dan kurang percaya diri. Tidak sedikit pula yang ‘cemburu’.

Kelemahan guru/dosen secara tidak langsung memberi andil dalam siswa/mahasiswa menyontek. Bukan rahasia lagi bila banyak guru/dosen yang punya pekerjaan sampingan, demi kontinuitas dan kualitas ‘asap dapurnya’ karena tidak dapat mengandalkan pemasukan dari satu sektor saja.

Waktu untuk persiapan mengajar, mengoreksi pekerjaan siswa/mahasiswa, membuat soal ulangan/ujian dan tugas, memikirkan variasi pengajaran serta menyediakan alat peraga hampir tidak ada.

Belum lagi tuntutan orangtua ingin anaknya meraih prestasi tinggi. Tuntutan semacam itu dapat menimbulkan keinginan anak untuk menyontek, agar dapat nilai baik dan tidak dimarahi orangtuanya.

Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orangtua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal tapi dikerjakan dengan menyontek.

Tak ada salahnya, kita cermati pendapat Dr Syamsu Yusuf MPd N, kepala Unit Pelayanan Teknis Lembaga Bimbingan dan Konseling UPI. Menurut ia, aktivitas menyontek merupakan wujud rasa tidak percaya diri, permalasan, spekulasi, kecurangan, irasional, dll.

Tujuan belajar mendapatkan ilmu pengetahuan dan nilai baru secara apektif, kognitif, maupun motorik. Hal itu memerlukan evaluasi untuk mendapatkan report, sejauhmana proses pembelajaran telah terjadi pada seseorang.

Namun dengan menyontek, proses evaluasi menjadi kabur. Ukuran kemampuan yang tengah dievaluasi menjadi tidak jelas.

Menurut ia, selain menipu, menyontek merupakan aktivitas spekulasi yang tinggi dan suatu bentuk sikap ingin segera mendapatkan hasil yang instan.

Kebiasaan kecil ini akan mengkristal dan menjadi cara seseorang mencapai sesuatu dan mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapinya. Hal ini yang harus disadari oleh siswa didik dan pendidik, agar etos kerja pendidikan tercapai. Bila budaya instan yang terbentuk, maka rasa malas akan timbul dan membentuk sikap ingin serba mudah.

Saat ini memang perlu penelitian untuk meyakinkan tentang dampak buruk menyontek. Namun saya yakin, semua pihak akan setuju jangan sampai sistem pendidikan kita melahirkan white collar crimers.

Achsin El-Qudsy, alumni madrasah Diniyyah Muawanatul Muslimin Kenepan Kudus, alumni HI UMY

Vonis bebas dalam kasus pembunuhan Munir: Impunitas sebagai salam tahun baru

Watch Indonesia! - Siaran Pers

Pada tanggal 31 Desember 2008 pengadilan negeri Jakarta Selatan mevonis
bebas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono
yang didakwa dalam kasus pembunuhan pejuang HAM Munir, karena dinilai
tidak terbukti melakukan pembunuhan terencana. Watch Indonesia!
mengkritik jalannya proses persidangan sebagai cacat hukum: karena motif
tindakan dalam surat dakwaan yang tidak kredibel, lemahnya barang bukti
dan kurangnya perlindungan saksi membuat hukuman bersalah kepada Muchdi
sesuai dengan standar negara hukum sama sekali tidak memungkinkan.
Organisasi Non-Pemerintah tersebut menuntut pengusutan ulang untuk
menjamin terungkapnya kebenaran kasus pembunuhan Munir dan hukuman
kepada mereka yang bertanggung jawab.

Menurut jaksa penuntut umum, Mayjen (purn.) Muchdi, mantan komandan
Kopassus, telah memberi perintah pemembunuhan Munir dengan racun yang
terjadi pada bulan September 2004. Diterangkan pula bahwa motif
pembunuhan adalah balas dendam, karena Munir membongkar pelanggaran HAM
yang menjadi tanggung jawab Muchdi. „Dengan motif balas dendam Penuntut
Umum menghindari diri untuk mengusut pejabat tinggi lain dari BIN yang
diduga tersangkut dalam pembunuhan Munir", demikian tutur Alex Flor,
direktur Watch Indonesia!.

Sebuah Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
telah mencurigai mantan kepala BIN Abdullah Mahmud Hendropriyono
terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Juga selama persidangan terhadap
Pollycarpus, yang pada tahun lalu divonis sebagai pelaku langsung
pembunuhan Munir, muncul beberapa petunjuk yang menandai kecurigaan
tersebut. „Motif balas dendam membuat pengusutan terhadap mekanisme
internal dan cara kerja BIN tidak lagi diperlukan. Padahal justru hal
itulah merupakan langkah yang penting untuk dapat mengidentifikasi semua
pihak yang bertanggung jawab dan untuk membuktikan kesalahannya" , tambah
Flor.

Watch Indonesia! mengkritik, bahwa Kejaksaan Agung hanya mengajukan
beberapa barang bukti yang lemah. Dakwaan berdasarkan atas surat yang
dicetak kembali berkat bantuan teknologi computer, sebuah Call Data
Record dan juga Berita Acara Pemeriksaan Budi Santoso, seorang anggota
BIN yang bertugas di luar negeri, yang menyatakan bahwa Muchdi telah
memerintahkan pembunuhan. „Kejaksaan Agung dan polisi tidak memanfaatkan
sepenuhnya perangkat yang mereka miliki guna mengumpulkan barang bukti.
Sebagai contoh mereka tidak melakukan penggeledahan dan tidak menuntut
kehadiran diri Santoso di depan pengadilan dengan konsekuen", demikian
Fabian Junge dari seksi hak asasi manusia Watch Indonesia!.

Oleh karena sedikitnya barang bukti maka penuntut umum sebagian besar
mendasarkan dakwaannya atas keterangan para saksi. Namun hampir semua
saksi dari lingkungan BIN meringankan Muchdi: beberapa saksi sama sekali
tidak menghadiri persidangan meskipun mereka telah beberapa kali
menerima panggilan, beberapa lainnya merubah atau mencabut BAPnya atau
„melupakannya" dengan begitu saja.

„Keterangan yang ditarik kembali dari sejumlah saksi yang penting
menunjukkan sekali lagi betapa mendesaknya kebutuhan Indonesia atas
program perlindungan saksi. Bahwa para hakim tidak merasa berkewajiban
untuk menanyakan ulang penyebab pencabutan atau perubahan BAP
menunjukkan kurangnya kemauan untuk membongkar kasus pembunuhan Munir
dengan sungguh", demikian jelas Junge. Ataukah pengadilan sendiri
mungkin merasa tertekan?

Watch Indonesia! memandang proses pengadilan yang cacat ini sebagai
kesempatan yang terlewatkan untuk mengakhiri impunitas yang berlangsung
sejak puluhan tahun. „Polisi dan Kejaksaan Agung harus mengusut kembali
kasus itu", tuntut Junge. „Mereka harus memberikan perhatian khusus
kepada BIN sebagai organisasi dan menuntut semua yang bertanggung jawab
terlepas dari jabatan dan status sosialnya. Yustisi Indonesia wajib
memenuhi hak keluarga dan kerabat almarhum juga hak masyarakat Indonesia
lainnya dan masyarakat internasional atas kebenaran mengenai pembunuhan
Munir."


Untuk informasi selanjutnya, hubungi:

Alex Flor (watchindonesia@ snafu.de)

story about Me

Nama yang tersandang kadang tidak harus menjadi wujud nyata dari fisik sesorang. Menurut banyak orang dan khususnya harapan orang tuaku mestinya akan menjadi seorang wanita yang endah (cantik) dan sulistyo (baik budi), barangkali begitu. Terlebih sebagai anak pertama menjadikanku harus beda karena terpilih untuk yang pertama mengetahui dunia (di keturunan keluarga) dan menjadi penerapan pertama bagaimana para orang tua menjadi seorang ayah dan ibu. Dimulai sekolah di Madrasah Ibtidaiyah yang aku ingat saat itu hampir semua teman sekolah tanpa alas kaki, padahal aku sekolah sekitar tahun 1975. Tetapi ibuku tidak suka jika aku tanpa alas kaki seperti mereka - banyak alasan - dari nanti kena pecahan kaca, kena paku, dimasuki telur cacing dan lain-lain. Jadilah aku seperti nonik (karena pasti akan sangat beda jika dibandingkan semua teman wanita ku pada saat itu dengan rambut dikepang sedangkan aku sudah berponi he he he .....). Pernah aku bertanya : " Kenapa sekolah Madarasah pada hal sebelah rumahku ada SD Negeri ?" Waktu itu ibu yang menjawab dengan pelan : " Biar bisa baca Al-Qur'an, karena ayah ibummu tidak bisa baca Al-Qur'an