Minggu, 15 Maret 2009

Generasi Pembatik ( suatu renungan)

Fitria (12) meniup malam panas yang berada di canting. Ia lantas membubuhkan malam itu sesuai alur pola motif bunga dan burung hong yang tergurat tipis di kain mori ukuran sapu tangan.
Saya tidak ingin menjadi pembatik seperti ibu. Saya mau menjadi perawat, kata siswi kelas VI SD Negeri Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, akhir September.
Pemilik nama lengkap Fitria Astuti itu mengaku, ibunya tidak pernah mengajarkan membatik di rumah. Ia juga tidak diperbolehkan membantu ibunya saat membatik dengan alasan takut merusak garapan.
Begitu pula Udin (12), teman sekolah Fitria. Meski pandai menggambar motif batik, orangtuanya yang berprofesi sebagai pembatik tidak pernah mengajari menggambar dan mengombinasikan motif-motif batik.
”Ibu kerap meminta saya menjadi guru atau dokter, bukan menjadi pembatik. Ya, jadinya, saya tidak pernah membuat pola batik di rumah” kata Udin sembari menyalakan kompor pemanas malam yang mati.
Guru SD Negeri Tuyuhan sekaligus warga Desa Tuyuhan, Akhmad Basuni, mengatakan, di Desa Tuyuhan sebagian besar pembatik tidak pernah mengajarkan anak-anak membatik. Mereka takut terjadi kesalahan atau kerusakan saat anak-anak membantu membatik.
Jika itu terjadi, pembatik yang kebanyakan bekerja pada pengusaha batik tidak akan dipercaya lagi menjadi karyawan atau mengerjakan borongan batik. Berbeda dengan pembatik yang menggarap batik kasar, mereka masih memberi kesempatan kepada anak-anaknya turut membatik.
Berdasarkan data Institut Pluralisme Indonesia (IPI) Rembang 2007, dari 500 pembatik di delapan desa di Kecamatan Pancur, 40 persen berusia 40 tahun ke atas. Pembatik yang berusia 20-26 tahun hanya lima persen.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat IPI Rembang Galata Conda Prihastanto mengatakan, ke depan alur generasi pembatik dapat terputus lantaran tidak banyak yang berminat atau mengajarkan batik kepada generasi berikut. Realitas sosial masyarakat itu terlihat dari beragam pilihan pekerjaan yang digeluti perempuan di delapan desa itu.
Misalnya di Desa Jeruk, banyak perempuan muda putus sekolah memilih bekerja sebagai pemanen sarang burung walet dan merantau menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan itu lebih mudah dilakukan dan tidak membutuhkan keterampilan khusus.
”Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak pembatik yang tidak punya keterampilan membatik,” kata Conda.
Untuk itu, IPI bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang menempatkan membatik sebagai pelajaran bermuatan lokal. Pelajaran itu akan diterapkan di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pancur, Lasem, Pamotan, Sluke, dan Rembang. Sebagai proyek percontohan, muatan lokal itu diterapkan di empat sekolah dasar di Kecamatan Pancur, yaitu SD Negeri Tuyuhan, Doropayung 1, Jeruk, dan Warugunung.
Kepala SD Tuyuhan Suparni mengatakan, sebelum mengajar membatik, para guru mengikuti pelatihan. Kemudian, mereka menerapkan kepada siswa kelas IV-VI, teori ataupun praktik.
”Tak jarang kami meminta orangtua siswa yang berprofesi pembatik mengajari anak-anak membatik. Atau kami juga memberikan pekerjaan rumah kepada siswa agar diajari membatik di rumah oleh para orangtua,” kata Suparni. (HENDRIYO WIDI)
( http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/14/01561229)

Tidak ada komentar: