Watch Indonesia! - Siaran Pers
Pada tanggal 31 Desember 2008 pengadilan negeri Jakarta Selatan mevonis
bebas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono
yang didakwa dalam kasus pembunuhan pejuang HAM Munir, karena dinilai
tidak terbukti melakukan pembunuhan terencana. Watch Indonesia!
mengkritik jalannya proses persidangan sebagai cacat hukum: karena motif
tindakan dalam surat dakwaan yang tidak kredibel, lemahnya barang bukti
dan kurangnya perlindungan saksi membuat hukuman bersalah kepada Muchdi
sesuai dengan standar negara hukum sama sekali tidak memungkinkan.
Organisasi Non-Pemerintah tersebut menuntut pengusutan ulang untuk
menjamin terungkapnya kebenaran kasus pembunuhan Munir dan hukuman
kepada mereka yang bertanggung jawab.
Menurut jaksa penuntut umum, Mayjen (purn.) Muchdi, mantan komandan
Kopassus, telah memberi perintah pemembunuhan Munir dengan racun yang
terjadi pada bulan September 2004. Diterangkan pula bahwa motif
pembunuhan adalah balas dendam, karena Munir membongkar pelanggaran HAM
yang menjadi tanggung jawab Muchdi. „Dengan motif balas dendam Penuntut
Umum menghindari diri untuk mengusut pejabat tinggi lain dari BIN yang
diduga tersangkut dalam pembunuhan Munir", demikian tutur Alex Flor,
direktur Watch Indonesia!.
Sebuah Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
telah mencurigai mantan kepala BIN Abdullah Mahmud Hendropriyono
terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Juga selama persidangan terhadap
Pollycarpus, yang pada tahun lalu divonis sebagai pelaku langsung
pembunuhan Munir, muncul beberapa petunjuk yang menandai kecurigaan
tersebut. „Motif balas dendam membuat pengusutan terhadap mekanisme
internal dan cara kerja BIN tidak lagi diperlukan. Padahal justru hal
itulah merupakan langkah yang penting untuk dapat mengidentifikasi semua
pihak yang bertanggung jawab dan untuk membuktikan kesalahannya" , tambah
Flor.
Watch Indonesia! mengkritik, bahwa Kejaksaan Agung hanya mengajukan
beberapa barang bukti yang lemah. Dakwaan berdasarkan atas surat yang
dicetak kembali berkat bantuan teknologi computer, sebuah Call Data
Record dan juga Berita Acara Pemeriksaan Budi Santoso, seorang anggota
BIN yang bertugas di luar negeri, yang menyatakan bahwa Muchdi telah
memerintahkan pembunuhan. „Kejaksaan Agung dan polisi tidak memanfaatkan
sepenuhnya perangkat yang mereka miliki guna mengumpulkan barang bukti.
Sebagai contoh mereka tidak melakukan penggeledahan dan tidak menuntut
kehadiran diri Santoso di depan pengadilan dengan konsekuen", demikian
Fabian Junge dari seksi hak asasi manusia Watch Indonesia!.
Oleh karena sedikitnya barang bukti maka penuntut umum sebagian besar
mendasarkan dakwaannya atas keterangan para saksi. Namun hampir semua
saksi dari lingkungan BIN meringankan Muchdi: beberapa saksi sama sekali
tidak menghadiri persidangan meskipun mereka telah beberapa kali
menerima panggilan, beberapa lainnya merubah atau mencabut BAPnya atau
„melupakannya" dengan begitu saja.
„Keterangan yang ditarik kembali dari sejumlah saksi yang penting
menunjukkan sekali lagi betapa mendesaknya kebutuhan Indonesia atas
program perlindungan saksi. Bahwa para hakim tidak merasa berkewajiban
untuk menanyakan ulang penyebab pencabutan atau perubahan BAP
menunjukkan kurangnya kemauan untuk membongkar kasus pembunuhan Munir
dengan sungguh", demikian jelas Junge. Ataukah pengadilan sendiri
mungkin merasa tertekan?
Watch Indonesia! memandang proses pengadilan yang cacat ini sebagai
kesempatan yang terlewatkan untuk mengakhiri impunitas yang berlangsung
sejak puluhan tahun. „Polisi dan Kejaksaan Agung harus mengusut kembali
kasus itu", tuntut Junge. „Mereka harus memberikan perhatian khusus
kepada BIN sebagai organisasi dan menuntut semua yang bertanggung jawab
terlepas dari jabatan dan status sosialnya. Yustisi Indonesia wajib
memenuhi hak keluarga dan kerabat almarhum juga hak masyarakat Indonesia
lainnya dan masyarakat internasional atas kebenaran mengenai pembunuhan
Munir."
Untuk informasi selanjutnya, hubungi:
Alex Flor (watchindonesia@ snafu.de)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar